Sabtu, 07 Maret 2009

Alam semesta boleh jadi tidak membutuhkan pengaturan-halus

Jagad raya kita diatur oleh hukum-hukum alam yang dinyatakan dengan bahasa matematika. Hukum-hukum alam ini mengatur tidak hanya atom, tetapi juga bintang-bintang, galaksi, dan tubuh manusia. Sering sekali terdengar klaim bahwa konstanta-konstanta fundamental di jagad raya kita ini telah diatur-halus (fine-tuning) agar bintang-bintang–dan dengan demikian juga kehidupan–dapat tercipta.

Dalam buku Just Six Numbers, astronom Inggris Martin Rees menulis bahwa alam semesta kita diatur hanya oleh enam bilangan yang nilainya ditentukan pada saat dentuman besar (big bang) terjadi. Enam bilangan tersebut adalah 1) N = 10^36 (10 pangkat 36 = 1 000 000 000 000 000 000 000 000 000 000 000 000) yaitu rasio antara gaya listrik dan gaya gravitasi yang mengikat atom-atom, 2) epsilon = 0.007 yaitu kekuatan gaya nuklir yang mengikat atom-atom, 3) omega = 1 yang mengukur kerapatan alam semesta, 4) lambda = 0.7 yang mengukur kekuatan “energi gelap” yaitu sebuah kekuatan misterius yang mempercepat pengembangan alam semesta, 5) Q = 0.00001 adalah bilangan yang menggambarkan tekstur alam semesta yaitu perbedaan kekuatan gaya gravitasi di antara dua tempat yang berbeda, dan 6) D = 3 yaitu jumlah dimensi spasial alam semesta kita.

Lebih lanjut, Rees menulis bahwa apabila satu saja dari keenam bilangan tersebut berubah nilainya sedikit saja, maka alam semesta kita akan menjadi tempat yang lain sekali dan boleh jadi akan menjadi dunia yang tak bersahabat bagi kehidupan.

Sebagai contoh, apabila N lebih kecil misalnya 1000 kali lipat saja, maka gravitasi akan menjadi lebih kuat dari yang terukur sekarang. Karena gravitasi lebih kuat, maka untuk mengimbanginya agar bintang-bintang tetap stabil mereka harus menghasilkan lebih banyak energi dan dengan demikian usia mereka menjadi lebih pendek. Evolusi menuju kehidupan kompleks dengan demikian akan terhambat karena tidak ada cukup banyak waktu. Terlebih lagi, karena gravitasi lebih kuat berarti ukuran makhluk hidup tidak bisa terlalu besar karena gravitasi akan menghancurkan tubuh mereka.

Bilangan kedua, epsilon, menentukan seberapa efisien Hidrogen diubah menjadi Helium melalui reaksi fusi. Apabila nilai epsilon sedikit lebih kecil, misalnya 0.006, maka energi yang dibebaskan dari reaksi nuklir ini akan lebih kecil dan bintang-bintang akan lebih usianya. Tidak hanya itu, reaksi fusi akan menjadi kurang efisien dan bintang-bintang tidak akan mampu membentuk elemen-elemen yang lebih berat daripada Helium. Alam semesta hanya akan berisi Hidrogen dan Helium dan tidak mengandung unsur-unsur berat yang penting bagi kehidupan: Karbon, Nitrogen, Hidrogen, hinga Besi. Sebaliknya, apabila epsilon lebih besar sedikit saja, misalnya 0.008, maka reaksi nuklir akan terlalu efisien dan akibatnya seluruh Hidrogen akan diubah menjadi Helium dan tidak akan ada sisa untuk pembentukan bintang generasi berikutnya yang esensial dalam pembentukan unsur-unsur berat.

Apabila bilangan ketiga, Omega, nilainya lebih kecil dari satu, maka alam semesta akan mengembang terlalu cepat dan galaksi-galaksi tidak akan dapat terbentuk karena gas-gas yang menjadi bahan dasar pembentuk galaksi akan terbawa oleh pengembangan alam semesta. Akibatnya gas-gas ini tidak dapat runtuh dan bersatu membentuk galaksi. Seandainya omega bernilai lebih besar daripada satu, maka alam semesta akan runtuh terlalu cepat menjadi big crunch (kebalikan dari big bang) dan tidak akan sempat membentuk bintang-bintang.

Bilangan keempat, Lambda, menentukan percepatan pengembangan alam semesta. Apabila pengembangan alam semesta dipercepat terlalu banyak, maka galaksi-galaksi dan bintang-bintang yang sudah terbentuk dengan cepat akan terobek, terbongkar, dan tidak akan sempat menghasilkan kehidupan.

Q bernilai 1/100 000, dan mengukur fluktuasi gaya gravitasi di dua tempat yang berbeda, dan menentukan pembentukan struktur di alam semesta. Apabila nilai Q lebih kecil, struktur tidak akan terbentuk dan alam semesta tidak akan memiliki galaksi, bintang-bintang, apalagi planet. Namun apabila Q lebih besar, akan tercipta lebih banyak titik-titik konsentrasi materi di alam semesta. Konsekuensinya, titik-titik konsentrasi ini akan membentuk banyak lubang hitam dan akan menyedot terlalu banyak materi.

Bilangan terakhir, D = 3, menentukan jumlah dimensi spasial di alam semesta. Nilai D adalah 3 karena kita hidup dalam tiga dimensi. Kenapa hidup dalam 3 dimensi menjadi spesial? Hidup dalam tiga dimensi memungkinkan kita mendefinisikan titik (satu dimensi), bidang (dua dimensi), dan ruang (tiga dimensi). Secara matematis kita juga dapat mendefinisikan ruang empat dimensi, lima dimensi, dan seterusnya. Namun kenapa ruang tiga dimensi lebih menguntungkan bagi kehidupan? Kehidupan tidak dapat muncul apabila alam semesta hanya memiliki 2 dimensi, apalagi 1 dimensi. Tidak mudah untuk hidup di alam 2 dimensi karena pergerakan kita sangat terbatas dan sangat sulit untuk mengenali bentuk-bentuk lain. Hidup di alam semesta 4 dimensi juga tidak menguntungkan karena gaya-gaya yang pada alam semesta 3 dimensi nilainya berbanding terbalik dengan kuadrat jarak akan berbanding terbalik dengan kubik jarak. Gravitasi adalah salah satu gaya yang kekuatannya berbanding terbalik dengan jarak kuadrat. Apabila gravitasi berbanding terbalik terhadap jarak kubik, maka sedikit perlambatan akan membuat sebuah planet bergerak tak terkontrol menuju matahari, sementara sedikit saja percepatan akan melontarkan sebuah planet dari matahari. Dalam kedua kasus, kehidupan kompleks akan lebih sulit terbentuk.

Martin Rees kemudian menyimpulkan bahwa keenam angka tersebut tidak boleh bernilai sembarangan dan memerlukan pengaturan-halus (fine-tuning) sehingga jagad raya yang kemudian dihasilkan pasca dentuman besar akan bersahabat untuk kehidupan kompleks. Jagad raya kita memiliki angka-angka yang cocok, apakah ini hasil kebetulan belaka ataukah ini tanda-tanda adanya pencipta cerdas (intelligent designer)? Martin Rees menawarkan pilihan ketiga bahwa jagad raya kita hanyalah satu dari sekian banyak jagad raya yang independen satu sama lain, dan bahwa di jagad raya lain itu terdapat kombinasi enam angka berbeda yang kemudian menghasilkan hukum-hukum fisika yang berbeda dengan hukum-hukum alam di jagad raya kita. Perkembangan fisika teori paling mutakhir, misalnya teori inflasi, kelihatannya mengizinkan keberadaan jagad raya lain (multiverse) ini.

Pendapat Martin Rees yang mengatakan bahwa enam besaran tersebut hanya boleh memiliki nilai-nilai tertentu untuk dapat menghasilkan jagad raya yang bersahabat bagi kehidupan kini ditantang oleh Fred Adams, seorang astrofisikawan dari Universitas Michigan di Ann Arbor. Dalam publikasi terbaru yang akan segera diterbitikan, Adams berkata bahwa tiga konstanta fisika yang paling relevan dalam proses pembentukan dapat saja memiliki nilai yang berbeda dengan apa yang terdapat di jagad raya kita, namun masih mengizinkan terbentuknya bintang-bintang. Dengan kata lain, angka-angka yang dimiliki jagad raya kita tidak sespesial yang selama ini diduga.

Fred Adams mengevaluasi tiga parameter fundamental yang paling penting bagi pembentukan bintang: konstanta gravitasi G, konstanta struktur halus alpha yang menentukan kekuatan gaya elektromagnetik, dan parameter C yang menentukan laju reaksi nuklir yang menghasilkan reaksi nuklir yang memungkinkan bintang bersinar.

Tiga nilai ini lalu diubah-ubah nilainya dan ditentukan rentang nilai yang paling dapat menghasilkan bintang yang dapat bersinar cukup lama sehingga memberikan kesempatan bagi kehidupan agar dapat muncul di planet yang mengitari bintang tersebut. Berdasarkan pengalaman di tata surya kita sendiri, dibutuhkan waktu kira-kira satu milyar tahun semenjak kelahiran Matahari hingga munculnya kehidupan.

Satu cara untuk mengevaluasi kombinasi ketiga angka tersebut adalah dengan melihat bagaimana parameter tersebut mempengaruhi massa maksimal dan minimum bintang-bintang yang dihasilkan. Jika massa bintang yang dihasilkan terlalu kecil, reaksi fusi tidak akan terjadi dan kita akan mendapatkan terlalu banyak bintang katai coklat. Namun jika massa bintang terlalu besar, tekanan radiasi tidak akan dapat mengimbangi tarikan gravitasi bintang itu sendiri. Akibatnya bintang akan runtuh dan membentuk lubang hitam.

Hasil penemuan Fred Adams, seluruh konstanta G, alpha, dan C, dapat memiliki nilai yang berbeda hingga 100 kali lebih besar atau lebih kecil daripada yang diamati di jagad raya kita, namun perbedaan besar tersebut masih mengizinkan terbentuknya bintang-bintang.

Martin Rees sendiri berpendapat untuk tidak terkejut dengan hasil temuan Fred Adams, karena sudah banyak astronom yang menunjukkan bahwa alam semesta dengan gravitasi yang lebih kuat masih dapat menghasilkan bintang-bintang–namun hidup mereka akan lebih pendek. “Ini tidak akan menghasilkan jagad raya yang menguntungkan karena nantinya tidak akan ada cukup banyak waktu untuk evolusi menuju kehidupan kompleks,” ia juga menambahkan, “lagipula objek-objek sebesar kita manusia akan dihancurkan oleh kekuatan gravitasi.”

Namun bintang-bintang bukanlah satu-satunya cara untuk menyokong kehidupan. Sebuah lubang hitam, sebagai contoh, diduga memancarkan energi dalam wujud Radiasi Hawking. Menurut Stephen Hawking, lubang hitam sebenarnya meluruh dengan memancarkan radiasi sedikit-demi-sedikit hingga akhirnya lubang hitam tersebut meluruh sepenuhnya. Radiasi ini dinamakan Radiasi Hawking. Fred Adams menunjukkan bahwa ada rentang nilai alpha dan G yang lebar yang megizinkan pembentukan lubang hitam yang dapat memancarkan radiasi Hawking begitu kuatnya sehingga dapat menyokong sebuah planet selama milyaran tahun.

Namun Fred Adams tetap menekankan bahwa studi ini barulah permulaan untuk mengetahui seberapa halusnya jagad raya kita ini diatur. Dia menambahkan, bahkan juga hukum-hukum fisika mengizinkan bintang-bintang muncul dan bersinar melalui reaksi fusi, konstanta-konstanta fundamental lain dapat saja menentukan apakah bintang-bintang ini dapat terbentuk dalam jumlah besar, dan juga menentukan apakah mereka dapat menyokong kehidupan.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda